Get the Linkedin stats of Norman Yanuar and many LinkedIn Influencers by Taplio.
open on linkedin
With over 18 years of diverse industry experience, I am a pragmatic executive dedicated to driving business transformation and fostering growth. Having worked across Southeast Asia, the Middle East, and the UK, my global perspective enables me to adapt and excel in various business environments. As a seasoned transformation leader, I utilize structured problem-solving, collaboration, and empathetic leadership to tackle complex challenges and unlock new opportunities. My versatile background in PEVC, consulting, tech, and field operations equips me with the ability to develop optimal solutions considering factors such as strategy, operations, and investment. I hold an MBA from the University of Oxford with Distinction and as a Dean's List Prize recipient (top 3%). My lifelong learning and growth mindset is demonstrated by completion of project and product management professional certifications (PMP®, AH-MC, PSM I, PSPO I), Lean Six Sigma Green Belt, CFA Level I, and ongoing pursuit of Doctoral Degree in Management. I regularly share my insights, experiences, and strategies to empower others navigating the dynamic world of business and leadership. My industry exposure includes: - Digital: e-commerce, ride-hailing, fintech - Consumer: automotive, healthcare, fresh produce, fashion & apparel retail - Financial services: insurance, multifinance - Energy & materials: fossil fuels, renewables, and metals Feel free to reach out, and let's explore how we can drive positive change in the business landscape.
Check out Norman Yanuar's verified LinkedIn stats (last 30 days)
Use Taplio to search all-time best posts
Mau tahu cara membuat saham perusahaan naik 9x lipat? Mulai dari hal yang dianggap "sepele". Tahun 1987, Paul O’Neill berdiri di depan investor untuk pidato perdananya sebagai CEO Alcoa, produsen aluminium terbesar di dunia. Investor menahan napas, siap mencatat strategi agresif yang akan diumumkan. Tapi O’Neill malah bilang: "Saya ingin berbicara tentang keselamatan kerja... Saya bermaksud membuat Alcoa menjadi perusahaan teraman di Amerika." Kaget? Investor juga. Banyak yang langsung buru-buru menjual saham Alcoa hari itu juga. Mereka pikir ini awal dari kehancuran. Tapi ternyata... Dalam 2 tahun, saham Alcoa naik 2 kali lipat. Dalam 13 tahun, pendapatan naik 5 kali lipat Dalam 14 tahun, saham melonjak 9 kali lipat. Loh, kok bisa? Karena untuk menciptakan keselamatan kerja kelas dunia, Alcoa: ⤷ Membenahi seluruh #proses operasional. ⤷ Meningkatkan kualitas #komunikasi. ⤷ Menanamkan #budaya excellence di semua level. Bukan dengan jargon. Bukan dengan shortcut. Tapi dengan "#habit of #excellence" setiap hari. Apa "keselamatan kerja" versimu hari ini? ⤷ Datang meeting on-time? ⤷ Buat laporan bebas typo? ⤷ Tepati semua janji kecil tanpa excuse? Kelihatan remeh? Justru dari situ #greatness dimulai. Excellence isn't a one-off project. It's a habit. Bangun sekarang, nikmati hasilnya bertahun-tahun ke depan. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Bagaimana kalau pemimpin paling hebat justru bukan yang paling berkarisma? Mereka tidak pakai jubah layaknya superhero. Mereka tidak haus sorotan. Mereka konsisten bekerja, dengan kerendahan hati dan tekad. Inilah Level 5 Leadership. Konsep ini diperkenalkan oleh Jim Collins dalam buku legendarisnya "Good to Great". Ia membongkar mitos lama soal kepemimpinan yang berfokus pada karisma. Yang lebih penting adalah kombinasi yang langka antara kerendahan hati dan tekad profesional yang kuat. Pemimpin Level 5 biasanya: ⤷ Fokus membangun organisasi hebat yang tahan lama, tapi enggan ambil kredit pribadi. ⤷ Bangga saat penerusnya sukses melampaui dirinya. ⤷ Punya tekad baja, bahkan saat tak ada yang melihat. ⤷ Lebih mirip "kuda pembajak sawah" daripada "kuda untuk pertunjukan". ⤷ Memberi penghargaan atas kesuksesan kepada tim, dan memiliki akuntabilitas pribadi jika ada kegagalan. ⤷ Lebih sering menyebut “keberuntungan” ketimbang mengklaim prestasi pribadi. Kedengarannya seperti teori? Faktanya, ini hasil riset selama 5 tahun terhadap 1.435 perusahaan. Hanya ada 11 perusahaan yang berhasil naik kelas dari “baik” ke “hebat”—dan semuanya dipimpin oleh pemimpin Level 5. Hasilnya? Performa mereka 3x lebih baik dari rata-rata pasar selama 15 tahun. Jadi pelajarannya jelas: Kepemimpinan bukan cuma soal apa yang dicapai. Tapi bagaimana cara mencapainya. Setelah menjalankan proyek transformasi di berbagai sektor, saya bisa bilang: Pemimpin paling berdampak jarang yang paling mencolok. Tapi selalu punya orientasi pada misi yang lebih besar dari dirinya. Coba tanya ke dirimu sendiri: Apakah kamu memimpin untuk mendapatkan pengakuan pribadi? Atau untuk perubahan nyata? Let’s lead with humility. Let’s lead courageously. Let’s lead for the greater good. ___ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Kalau satu-satunya alat yang kita punya adalah PALU, semua masalah terlihat seperti PAKU. Itu quote dari Abraham Maslow. Saya pernah mengalami sendiri. Waktu itu, saya punya satu pendekatan favorit untuk menyelesaikan masalah. Saya merasa cukup... sampai suatu saat, pendekatan itu gagal total. Bukan karena kurang usaha. Tapi karena saya tidak melihat ada alternatif lain. Itulah bahayanya #TunnelVision. Kita terlalu fokus pada satu solusi sampai lupa bahwa dunia itu penuh pilihan lain yang mungkin jauh lebih efektif. Bagaimana cara pragmatis untuk menghadapinya? Dari pengalaman pribadi dan yang saya lihat di banyak organisasi, ini beberapa pendekatan yang sangat membantu: 1 / #Belajar lintas domain. Membuka perspektif baru yang mungkin tidak pernah kita pikirkan. 2 / Biasakan #bertanya: “Apa ada alternatif lain?” Sederhana, tapi bisa membuka pintu solusi baru. 3 / Bentuk #tim lintas fungsi (cross-functional team). Lebih banyak sudut pandang = solusi yang lebih kuat. 4 / #Tunjuk Devil’s Advocate. Seseorang di tim yang bertugas mempertanyakan asumsi yang dianggap "pasti benar." 5 / Pastikan #PsychologicalSafety di tim. Tim yang beragam dengan berbagai perspektif tidak akan efektif jika mereka merasa tidak nyaman untuk speak up. Di dunia yang terus berubah ini, fleksibilitas berpikir sudah menjadi keharusan bukan hal opsional. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Pernah gak kamu kepikiran… Kalau orang-orang di 'address book' kamu, yang mungkin cuma kamu sapa pas hari raya, sebenarnya bisa jadi kunci buat bikin kariermu melesat? Bukan, ini bukan soal 'ordal'. Tapi soal betapa besarnya manfaat tersembunyi dari memiliki teman atau jaringan yang luas dan beragam. Apa saja manfaatnya? Yuk, scroll carousel di bawah ini. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Most people don’t realize how powerful one word can be. Let’s talk about a tiny difference that changes everything: Are you working IN the system or ON it? This isn't just a grammar game. It’s a shift in perspective that could transform your impact. When you’re working IN the system, you’re inside the engine. Following the playbook. Meeting targets. Delivering today. But when you work ON the system, you step outside the day-to-day. You spot patterns. Fix root causes. Design a better tomorrow. ⤷ One is about execution. ⤷ The other is about transformation. Both are critical. But knowing when to switch is what separates good professionals from great ones. Too deep IN, and you miss the bigger picture. Too far ON, and you risk being out of touch. So here’s a question I often ask myself when things get chaotic: "Am I working IN or ON the system?" Simple question. Powerful clarity. Let's remember, progress isn’t just about working harder. It’s about working smarter. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Masalah terbesar tim saya adalah... konflik. Kalimat itu sering saya dengar saat ngobrol bareng beberapa teman yang memimpin tim. Padahal, konflik itu bukan selalu pertanda buruk. Bahkan, dalam beberapa tim terbaik yang pernah saya temui, konflik justru jadi sumber kekuatan. Kok bisa? Karena ketika dikelola dengan tepat, konflik bisa membuka ruang untuk: ⤷ Perspektif yang lebih tajam ⤷ Ide-ide yang lebih segar ⤷ Solusi yang lebih aplikatif Tapi tentu saja... nggak semua konflik sehat. Kuncinya adalah tahu jenis konflik apa yang bisa membawa tim naik level dan bagaimana cara mengelolanya. Penasaran gimana caranya? Yuk, cek carousel di bawah ini untuk tips praktisnya. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into hashtag#career, hashtag#leadership, and hashtag#growth.
The first thing I pack when I travel? Not my sunglasses. Not even my laptop. It's my running shoes. Why? Because running is not just fitness for me. It’s how I explore, really explore, a new place. Running lets you see a city’s real side: Quiet backstreets. Local warungs. Street art. Hidden parks. The things you don’t find in travel guides. It reminds me of the Gemba Walk in management: Go to the source. Observe with your own eyes. Understand the truth, not just the reports. Too often, leaders get stuck in offices and dashboards. But real insight? It lives on the ground. Where your team works. Where your customers experience your brand. Business or travel, there’s no substitute for firsthand observation. So, where will you run your Gemba this weekend? Discover something worth learning. Photo: View from my morning run last week. Always worth it. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Data selalu mengingatkan saya untuk berendah hati. W. Edwards Deming, sosok yang dikenal sebagai bapak manajemen mutu, sangat memahami batasan pengetahuan manusia. Tapi ia juga percaya, manusia punya kemampuan belajar dari data. Kalimat terkenalnya, “In God we trust, all others must bring data”, selalu mengingatkan saya bahwa: Kita tidak mungkin tahu segalanya, tapi data bisa menerangi jalan kita. Data mempertajam pengambilan keputusan dan meningkatkan peluang sukses. Data membantu kita tetap membumi, menggantikan “feeling” dan bias pribadi dengan fakta dan bukti nyata. Di era big data dan AI, informasi membanjiri kita. Tapi ingat, kuncinya bukan sekadar punya data, melainkan memahami maknanya. Lain kali, mau ambil keputusan yang lebih tepat? Andalkan data! Tapi jangan lupa, data hanya potongan dari cerita besar. Penilaianmu dan pengalamanmu lah yang melengkapi puzzle untuk menafsirkan angka-angka itu. Singkatnya, data membantu kita untuk: 1. Mengidentifikasi masalah 2. Menemukan akar masalah 3. Menyusun solusi 4. Mengevaluasi efektivitas solusi 5. Menyempurnakan proses dan produk 6. Meningkatkan kualitas keputusan Jadi, lain kali kamu dihadapkan pada masalah besar atau keputusan penting, jangan buru-buru lompat ke solusi. Ambil jeda sejenak, rendahkan hatimu, dan biarkan data jadi bagian dari proses pengambilan keputusanmu. Image by gapingvoid _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Banyak orang bilang: "Ikuti saja passion-mu." Tapi saya belajar, itu hanya setengah dari cerita. Kalau hanya mengandalkan passion... ...tanpa keterampilan, tanpa kualitas dan konsistensi... kita berakhir jadi orang yang bersemangat, tapi tidak efektif. Sebaliknya, #craftsman mindset mengajarkan hal yang berbeda: ⤷ Fokus pada #kualitas. ⤷ Fokus pada membangun #keahlian. ⤷ Fokus untuk terus menjadi lebih #baik. Dalam dunia nyata, kualitaslah yang membuka pintu. Bukan sekadar passion. Saya teringat sebuah pelajaran sederhana: Ketika kamu bekerja keras memperbaiki kualitas kerjamu, entah dalam analisis, dalam berbicara, dalam menulis laporan, atau dalam mengeksekusi proyek, "passion" itu juga sering tumbuh seiring waktu. Jadi, ini adalah sebuah timbal balik. Bukan hanya "Apa yang dunia bisa berikan ke saya?" Tapi "Bagaimana saya bisa memberikan sesuatu yang bernilai?" Saat kualitas kita meningkat, pengakuan akan mengikuti. Begitu pula rasa cinta terhadap profesi itu sendiri. Jadi, daripada terus bertanya: "Apa passion saya?" Cobalah bertanya: "Bagaimana saya bisa menjadi lebih baik hari ini?" Karena kualitas yang konsisten adalah magnet. Dan dalam jangka panjang, itu jauh lebih kuat dibanding sekadar semangat yang menggebu-gebu sesaat. Foto: Aktif mengajar adalah salah satu cara saya untuk mempertajam pemahaman terhadap ilmu yang saya dalami dan juga memberikan suatu yang bernilai kepada sesama. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Bingung mau fokus jadi ahli satu bidang? Atau belajar banyak hal biar lebih fleksibel? Kenapa nggak gabungkan saja keduanya? ⤷ Punya keahlian mendalam (spesialis), dan... ⤷ Tetap fleksibel dan siap hadapi perubahan (generalis). Ini adalah konsep yang disebut sebagai T-Shaped Professional. Konsep ini penting buat kamu yang ingin karier lebih kuat, adaptif, dan tahan lama. Penasaran gimana caranya? Yuk, cek carousel di bawah ini untuk penjelasan dan tips praktisnya. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Pernahkah kamu bekerja dengan pemimpin yang sangat visioner… tapi gak pernah turun ke lapangan? Atau sebaliknya, pemimpin yang jago banget eksekusi… tapi kehilangan arah karena gak punya gambaran besar? Dari pengalaman saya, salah satu kerangka paling sederhana namun powerful dalam memahami tipe kepemimpinan adalah konsep 3D Leader: Dreamer, Driver, dan Doer. Kenapa saya suka konsep ini? Simple saja, karena mudah diingat dan relevan dalam banyak situasi nyata kepemimpinan. 1. #Dreamer: Pemimpin dengan visi besar dan inspiratif penuh ide kreatif. 2. #Driver: Pemimpin yang pandai koordinasi dan push tim. 3. #Doer: Pemimpin yang langsung terjun ke lapangan. Cepat dan efisien. Saya pernah bekerja dengan ketiganya: ⤷ Si #Dreamer: Visi besar, tapi minim perhatian pada operasional. Targetnya sering ambisius tapi gak realistis. Tim frustrasi karena selalu “membidik bulan tanpa jelas roketnya darimana.” ⤷ Si #Driver: Hebat dalam membentuk ritme kerja dan meningkatkan produktivitas. Tapi karena kurang visi dan empati, tim bekerja keras tanpa arah dan akhir - ujung-ujungnya burnout. ⤷ Si #Doer: Eksekusinya luar biasa. Tapi karena enggan berbagi atau berkoordinasi, malah sering buat bingung tim. Hebat sendirian, tapi tim gak tumbuh. Apa pelajarannya? Pemimpin yang seimbang tidak hanya punya mimpi, tapi juga tahu cara mewujudkannya dan menggerakkan orang lain bersama-sama. Jadi harus mulai dari mana? Kenali kecenderunganmu. Apakah kamu cenderung dreamer, driver, atau doer? Terus belajar dan mengevaluasi diri. Feedback dari tim dan mentor itu penting untuk menyeimbangkan gayamu. Jangan lupa, bangun tim yang saling melengkapi. Jangan takut merekrut orang yang lebih hebat di sisi yang jadi kelemahanmu. Tujuan seorang pemimpin bukan jadi yang paling sempurna, tapi untuk membangun tim yang saling melengkapi sehingga dapat mencapi tujuan bersama. Penasaran, kamu lebih merasa relate dengan tipe yang mana? _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Selisih 1 derajat bisa membuat pesawat mendarat di negara yang berbeda. Inilah prinsip “1 in 60 rule” yang dipakai di dunia penerbangan: Meleset 1 derajat saja, maka setiap 60 mil laut (sekitar 96,6 km), posisi kita akan melenceng sejauh 1 mil laut (sekitar 1,9 km). Tampak kecil? Tapi dampaknya bisa besar. Sama seperti hidup. Saya belajar 3 hal dari sini: 1/ Keputusan Kecil Itu Krusial Pilihan kecil kita tiap hari—mau baca atau scroll, olahraga atau tunda, belajar atau rebahan—semuanya menentukan arah hidup kita. 2/ Tetap di Jalur Punya tujuan saja tidak cukup. Cek ulang secara rutin. Apakah saya masih bergerak ke arah yang benar? Sedikit penyesuaian hari ini bisa mencegah kesalahan besar di masa depan. 3/ Koreksi Sejak Dini Menyadari melenceng lebih awal = kesempatan memperbaiki lebih besar. Jangan tunggu nanti. Recalibrate sekarang. Kalau kamu komitmen untuk berkembang 1% setiap hari, dalam setahun kamu bisa 37 kali lebih baik. Jadi, meski perubahan besar itu menarik, justru langkah-langkah kecil setiap hari yang akan membentuk kita. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Pernah tidak, kamu ngerjain hal kecil tapi kamu kasih seluruh hatimu di situ? Beberapa tahun lalu, saya diminta untuk mengurus outing tahunan kantor ke luar negeri. Persiapannya memakan waktu lima bulan. Tapi akhirnya, semua orang bisa ikut. Ketika acara berlangsung, ada satu senior yang datang dan berkata, “Norman, selama saya kerja di sini, ini outing paling niat dan paling rapi yang pernah saya ikuti.” Beberapa orang bertanya, “Kenapa sih lo effort banget buat hal sekecil ini?” Jawaban saya: Kepercayaan. Kepercayaan dibangun dari hal-hal kecil. Kalau orang lihat kamu bisa diandalkan di tugas-tugas kecil, mereka akan percaya kasih tanggung jawab yang lebih besar. Saya juga selalu mengingatkan tim saya untuk memperhatikan detail kecil, bahkan hal seperti typo atau grammar di laporan. Kebiasaan ini terbentuk ketika saya bekerja di consulting. Saat itu, manajer saya pernah berkata, “Kalau penulisan laporan saja banyak typo, bagaimana saya bisa yakin analisisnya akurat?” Kepercayaan itu dimulai dari hal-hal kecil. Kerjakan yang kecil dengan benar, dan kamu akan memperoleh kepercayaan untuk hal yang besar. Kamu sendiri, punya pengalaman apa soal membangun kepercayaan? Tulis ceritamu di kolom komentar. Foto: Presentasi dan penataan makanan yang rapi di pasar di Kyoto. Tampilannya saja sudah membuat kita percaya rasanya akan seenak itu. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Pernah bertanya, kenapa ada interaksi yang meninggalkan kesan mendalam? Jawabannya bisa jadi: Omotenashi. Filosofi Jepang yang berarti "selfless hospitality". Bukan sekadar ramah. Tapi benar-benar peduli, mengantisipasi kebutuhan, dan melayani tanpa berharap imbalan. Dan menariknya, prinsip ini sangat relevan baik di kehidupan profesional maupun pribadi. Bagaimana penerapannya? Di dunia kerja: ⤷ Dengarkan dengan sungguh-sungguh, bukan cuma mendengar, tapi memahami maksud sebenarnya. ⤷ Tawarkan solusi bahkan sebelum masalah muncul. ⤷ Bantu rekan kerja tanpa perhitungan soal “jasa” atau “kontribusi”. ⤷ Bangun respek dua arah, fondasi semua relasi profesional. Dalam kehidupan pribadi: ⤷ Hadir sepenuhnya saat bersama orang tercinta. ⤷ Tawarkan bantuan bahkan sebelum mereka meminta. ⤷ Beri dengan tulus, tanpa ekspektasi balasan. ⤷ Hargai setiap momen, sekecil apa pun itu. Setelah bekerja dengan berbagai kultur, saya belajar satu hal sederhana yang berlaku universal: Hubungan yang bermakna dimulai dari perhatian yang tulus tanpa pamrih. Weekend ini, yuk coba satu tantangan kecil: Temui rekan kerja lama, ngobrol dengan pasangan, atau sekadar tanya kabar orang tua dengan semangat Omotenashi. Bayangkan dampaknya kalau setiap interaksi kita membawa kesan yang hangat dan tak terlupakan. Sudah pernah mencobanya? Atau ingin mulai minggu ini? Cerita kamu mungkin bisa menginspirasi yang lain. Yuk, share di kolom komentar. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Kamu bisa dinilai… dari cara kamu membalas email. Bukan soal besar-kecilnya tugas. Tapi bagaimana kamu menyelesaikan sesuatu, terutama saat tidak ada yang melihat. Saya pernah melihat ini di berbagai tim: Yang bikin beda bukan gelar, bukan jam kerja, bukan ide brilian. Tapi siapa yang: ⤷ Menyiapkan meeting notes tanpa diminta ⤷ Memberi heads-up sebelum ada kendala ⤷ Bertanya, “Ada yang bisa saya bantu lagi?” Semua itu mungkin gak tercatat di KPI. Tapi masuk ke memori rekan kerja dan atasan. Profesionalisme bukan soal satu momen besar. Tapi soal konsistensi dalam hal kecil, setiap hari. Dan justru di sanalah reputasi dibangun. Kalau kamu percaya bahwa standar kerja kita paling terlihat saat tidak ada yang menilai, artikel ini akan menguatkan keyakinanmu. Yuk, baca selengkapnya di artikel: “Cara Kita Mengerjakan Hal Kecil Menentukan Segalanya” _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Awalnya saya ragu untuk mulai menulis di LinkedIn. Saya kuatir: “Bagaimana kalau orang nggak setuju?” “Bagaimana kalau apa yang saya tulis dianggap nggak penting?” Sampai saya belajar satu prinsip sederhana di dunia sales: aturan 10-80-10. Dari 10 orang: 1 akan selalu setuju, 1 akan selalu menolak apapun, 8 akan melihat apakah kamu membawa value untuk mereka. Sejak itu, saya sadar: Fokus saya bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk memberi manfaat buat 90% yang masih terbuka untuk berdiskusi dan belajar bersama. Dan menulis di LinkedIn ternyata punya manfaat yang jauh lebih dalam dari sekadar personal branding: ⤷ Untuk refleksi, ⤷ Untuk menajamkan pikiran, ⤷ Untuk menjaga akuntabilitas diri. Menulis di LinkedIn bisa jadi alat powerful untuk berkembang, bukan cuma pamer. Penasaran kok bisa? Yuk, cek carousel di bawah ini untuk penjelasan dan tips praktisnya. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Kenapa Indonesia kalah saing dari Vietnam dalam menarik investor? Isu ini makin sering muncul di berbagai diskusi strategis. Beberapa menyebut soal regulasi. Ada juga yang menyoroti infrastruktur. Tapi ada satu aspek yang sering dilewatkan: Apakah SDM kita siap beroperasi dengan standar kelas dunia? Saya teringat masa-masa awal karier. Waktu itu saya berkesempatan bekerja di beberapa institusi asing yang menjadi benchmark di industrinya. Dari situ, saya menyaksikan langsung: ⤷ Disiplin dalam pengambilan keputusan. ⤷ Kualitas kepemimpinan dalam membuat strategi dan eksekusinya. ⤷ Budaya kerja yang efisien, tanpa drama tapi penuh makna. Dan yang paling penting: standar #excellence yang tidak ditawar. Dari situ saya belajar bahwa melihat excellence itu seperti membuka mata. Begitu kamu tahu seperti apa “luar biasa” itu, kamu nggak akan puas dengan yang “biasa-biasa saja”. Masalahnya, nggak semua orang dapat akses ke lingkungan seperti ini sejak awal. Jadi gimana caranya kita bisa tetap mengejar exposure itu? Berikut 5 cara yang biasa saya bagikan ke mentee saya: 1. Gabung dengan #organisasi panutan. Bekerja atau belajar dengan Institusi yang sudah terbukti jadi role model di industrinya. 2. Temukan #mentor yang nyata. Bukan yang hanya bicara, tapi yang sudah membuktikan lewat karyanya. 3. Investasikan waktu untuk #belajar. Referensi, riset, hingga sertifikasi. Pilih yang terbaik, bukan yang termudah. 4. Bangun #lingkungan pertemanan yang sehat. Berjejaring dengan mereka yang menantang kita untuk tumbuh. 5. Aktif minta #feedback. Jangan tunggu kesalahan besar untuk belajar. Belajar dari koreksi kecil setiap hari. Excellence itu bukan titik akhir. Tapi proses. Standar yang kamu tetapkan untuk diri sendiri, setiap hari. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Berapa banyak kesempatan kita lewatkan... hanya karena takut terlihat belum bisa? Banyak dari kita menunggu sampai siap, sempurna, atau percaya diri. Padahal, keberanian untuk memulai justru jadi langkah paling penting yang sering terlupakan. Saya juga pernah terjebak mindset ini: “Kalau belum jago, mending jangan mulai dulu.” Sampai akhirnya sadar bahwa untuk bisa hebat, kita harus izinkan diri kita jadi pemula dulu. Canggung, salah, gak lancar. Tapi terus belajar. Menurut Josh Kaufman, kamu hanya butuh 20 jam untuk mempelajari dasar dari skill baru. Bukan 10.000 jam. Bukan jadi expert. Tapi cukup untuk mulai. 20 jam = 40 menit per hari selama 1 bulan. Bisa dipakai untuk public speaking, data analysis, storytelling, atau leadership. Di dunia kerja yang cepat berubah, kemampuan belajar cepat bukan lagi nice to have. Itu strategi hidup. Kalau kamu sedang memimpin tim, mengelola proyek, atau mencoba berkembang di bidang baru, post ini untuk kamu. Yuk, baca selengkapnya di artikel: “Kita Tidak Harus Hebat Untuk Memulai. Tapi Kita Harus Memulai Untuk Bisa Hebat.” _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Dulu saya percaya satu hal: "Kalau saya kerja keras, hasilnya akan kelihatan sendiri." Tapi realita di dunia profesional ternyata lebih kompleks dari itu. Kerja keras itu perlu. Tapi melihatkan hasil kerja keras pun krusial. Bukan pencitraan. Bukan cari perhatian. Tapi soal memastikan kontribusi kita terlihat dan dihargai. Saya pernah lihat banyak profesional hebat yang tertinggal bukan karena kurang kompeten, tapi karena terlalu diam. Menyelesaikan pekerjaan luar biasa… tapi membiarkan orang lain menebak dampaknya. Padahal dunia kerja bukan ruang pengakuan otomatis. Kalau kamu tidak menyuarakan kontribusimu, jangan heran kalau orang lain tidak menyadarinya. Maka, personal branding bukan sekadar gimmick. Itu soal membangun kredibilitas. Soal menjelaskan siapa dirimu, apa yang kamu bawa ke meja, dan kenapa itu berdampak. Kalau kamu percaya bahwa kerja keras saja tidak cukup tanpa keberanian untuk dikenal, maka artikel ini mungkin akan mengubah cara pandangmu. Yuk, baca selengkapnya di artikel: “Kerja Keras Aja Gak Cukup Kalau Gak Terlihat” _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Banyak yang mengaku “ahli proyek”… tapi enggan belajar ilmu proyek. "Ngapain sertifikasi? Toh saya sudah pengalaman." Kalimat ini terlalu sering saya dengar. Padahal justru di sinilah masalahnya: Banyak yang merasa cukup hanya dengan pengalaman, tanpa pernah menguji apakah caranya sudah sesuai dengan standar internasional. Kenyataannya, standar manajemen proyek yang baik itu ada untuk melindungi proyek dari risiko kegagalan, bukan hanya untuk gaya-gayaan. Studi World Bank tahun 2011 terhadap 1912 proyek yang dibiayai menyebutkan bahwa: “Bahkan proyek yang konsepnya baik bisa terganggu, jika pelaksanaannya buruk.” Dan salah satu indikator kesiapan kita dalam pelaksanaan adalah seberapa banyak tenaga kerja kita yang menguasai ilmu manajemen proyek secara terstandar. Mari kita lihat datanya: Jumlah pemegang sertifikasi Project Management Professional (PMP) aktif per 1 juta tenaga kerja di beberapa negara ASEAN: ⤷ Singapura: 4.148 ⤷ Brunei: 400 ⤷ Malaysia: 382 ⤷ Vietnam: 111 ⤷ Filipina: 72 ⤷ Indonesia: hanya 28 Apakah semua yang bersertifikasi pasti hebat? Tidak. Tapi mereka menunjukkan satu hal penting: komitmen terhadap pembelajaran dan disiplin terhadap standar. Di dunia profesional, pengalaman itu penting. Tapi pengalaman + ilmu = super power. Karena excellence bukan tentang siapa yang paling lama kerja. Tapi siapa yang paling serius menjaga kualitas kerja. _____ Like what you read? Then click that like button, share this post, and follow me for more pragmatic tips into #career, #leadership, and #growth.
Content Inspiration, AI, scheduling, automation, analytics, CRM.
Get all of that and more in Taplio.
Try Taplio for free